Pages

Friday, April 26, 2013

Teknik Pertanian = Nyangkul+Kebo+Lumpur+Bau?????

Saat ngobrol-ngobrol bersama teman-teman yang latar belakangnya bukan teknik pertanian, saya iseng bertanya, "eh, kalo di teknik pertanian itu belajar rancang bangun mesin pertanian macem urusannya anak teknik mesin kan?". Dijawabnya malah gini, "Ya enggak lah bang! Teknik pertanian itu ya belajarnya cara nyangkul, setek, cangkok, dkk. Gak ada itu yang namanya bikin mesin. Kalo mau belajar rancang mesin ya ke bengkelnya anak teknik mesin, bukannya ke sawahnya anak teknik pertanian!". Astaga... apakah memang begitu pemahaman masyarakat terhadap teknik pertanian yang sudah berserakan di kampus-kampus se-Indonesia? Kalau memang benar begitu pandangan masyarakat dan generasi muda se-Indonesia terhadap cabang ilmu ini, maka wajar saja kalau peminatnya gak seheboh fakultas kedokteran ataupun cabang teknik yang lain. Gimana bisa berminat kalau yang terlintas di benak mereka pertama kali tentang teknik pertanian adalah "nyangkul, sawah, kebo, becek, lumpur, bau". Gak elit banget deh dari kampus di kota besar malah pindah ke medan lumpur gitu setelah lulus.

Mari kita melongok sejenak ke benua eropa. Disana teknologi pertanian sudah berkembang pesat karena kesadaran para petingginya kalau tanah mereka gak subur-subur banget jadi mereka mesti mengembangkan sesuatu untuk menutupinya. Coba lihat gambar-gambar disebelah kanan ini. Apakah anda melihat cangkul, bajak, sapi, kerbau, ataupun alat pertanian yang biasa anda lihat di sawah? Bukan saja tidak ada penampakan cangkul dan sebangsanya, bahkan yang terlihat di gambar tersebut adalah sesosok alat berat seperti yang biasa kita lihat di proyek-proyek pengaspalan jalan. Jadi dimana cangkulnya? Ya itu, cangkul, bajak, dan sapi digantikan oleh mesin berat tersebut.

Tidak hanya alat tradisional yang diganti menjadi monster baja penggaruk tanah, pekerjaan petani juga dipermudah oleh saran-saran yang diberikan "monster" tersebut. Coba lihat gambar disamping, nampak sebuah komputer mini kan? Nah tampilan monitor tersebut memberi masukan akan kondisi sekitar, sekarang tinggal si petaninya saja yang mengambil keputusan yang menurutnya paling tepat.


Oke, sudah cukup jalan-jalan ke Eropanya. Jadi apa yang kita dapatkan tentang teknik pertanian? Ternyata teknik pertanian kedepannya malah cenderung berurusan dengan mesin-mesin pintar tersebut. Bisa dibilang kalau teknik pertanian salah satu tipe lintas-disiplin ilmu seperti teknik mesin, meteorologi klimatologi, dan teknik fisika atau mungkin bisa dibilang teknik mesin orientasi pertanian.

Tidak salah memang kalau ada yang menyebut teknik pertanian berurusan dengan irigasi, pengolahan tanah, pembibitan, dan penanganan pasca panen. Tapi adakah yang menyebutkan bahwa kita cuma berurusan dengan teknologi yang ada sekarang atau mungkin teknologi pertanian yang primitif? Walaupun ada menyinggung sistem tradisional, tapi itu semata-mata untuk memahami sistem kerja yang sederhana dari pertanian tradisinoal karena hal-hal yang kompleks tak lebih dari pengembangan hal-hal sederhana yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Tapi setelah memahami cara kerja sistem sederhana tersebut, sebenarnya sudah ada kesempatan untuk berimprovisasi dengan ilmu-ilmu yang didapatkan dari "ilmu nyasar" seperti permesinan dan sebangsanya.

Coba saja lihat contoh yang sederhana seperti traktor. Cara kerja mesin tersebut sebenarnya sama saja dengan bajak yang ditarik oleh kerbau ataupun sapi hanya saja tenaga hewannya yang diganti dengan mesin diesel dan bisa mengangkut beberapa variasi bajak sekaligus. Sekarang mari kita lihat apa saja sistem pertanian tradisional yang kira-kira bisa dimodernisasikan. Mungkin kita sudah bosan melihat bagaimana petani padi mengusir burung-burung yang iseng mencari nafkah di sawah mereka terutama saat mendekati masa panen raya. Biasanya petani akan berteriak ataupun menggoyangkan seperangkat kaleng yang dirakit sedemikian rupa sehingga bisa digoyangkan dari jarak jauh. tapi pernahkah terpikir untuk menggertak burung-burung kelaparan tersebut dengan menggunakan "musuh alami"nya? Untuk burung kecil pemakan biji biasanya takut dengan burung besar karnivora seperti elang. Elang sendiri memiliki suara pekikan yang khas. Jadi mungkin kita bisa menggunakan speaker-speaker kecil yang secara otomatis mengeluarkan pekikan seperti burung elang dalam interval waktu tertentu. Atau kalau mau lebih canggih lagi bisa ditempatkan sensor inframerah untuk mendeteksi benda yang masuk(burung) areal padi. Ketika sensor mendeteksi kehadiran seekor atau segerombolan burung, maka pekikan elang jadi-jadian akan segera membahana di areal tersebut. Cukup keren bukan? Petani gak mesti melototin sawahnya seharian demi menjaga padinya dari serbuan rampok udara tersebut.

Nah kira-kira begitulah yang bisa dihasilkan dari cabang teknik pertanian, tidak mesti harus ikut mencangkul di sawah melainkan melahirkan inovasi-inovasi baru di bidang pertanian yang bisa meningkatkan produktivitas ataupun membuat nyaman para petani dengan teknologi mereka. Masih ada yang ingin menggunakan cangkul tradisional setelah memiliki ilmu tersebut? Rugi dong ilmu yang sudah dipelajari tapi tetap menggunakan sistem yang begitu-begitu saja. Ingat, daratan eropa pertaniannya memiliki kendala musim dingin tapi pertanian mereka bisa makmur karena teknologi pertanian yang mereka miliki, sekarang bayangkan Indonesia yang tanahnya subur dan dilimpahi matahari selama setahun penuh ini kalau menggunakan teknologi yang mumpuni. Thailand, Jepang? Lewat!!!!!! 

Thursday, April 11, 2013

Traktor Dengan Diet Gas LPG

Oke, kali ini saya ingin membahas tentang salah satu alat pertanian modern yang sudah tidak asing lagi di telinga dan mata kita semua yaitu traktor. Benda satu ini sudah banyak kita lihat di sawah-sawah ketika musim awal bertani dimulai. Traktor sendiri merupakan "evolusi" dari bajak yang dulu ditarik dengan kerbau, sapi, atau mungkin kuda di beberapa daerah. Kinerja traktor tentunya lebih unggul ketimbang bajak yang ditarik oleh hewan ternak baik dari segi kecepatan kerja ataupun ketahanannya.


Tapi kenapa tidak semua petani menggunakan benda satu ini? Faktor utama pasti gak jauh-jauh dari biaya lah~ Untuk traktor tangan saja harganya bisa 6 jutaan. Kalau traktor roda 4? Udah serasa beli mobil itu harganya, bisa tembus 150-300 juta kalau mau yang bagus. Oleh karena itu traktor jarang dimiliki secara perorangan oleh petani. Biasanya sih kalau ada yang menggunakan traktor, itu traktornya hasil patungan dengan grup petani setempat ataupun menyewa di jasa penyewaan alat pertanian.


Selain faktor harga beli yang tidak bisa dikategorikan murah, salah satu kendalanya ada di biaya operasionalnya. Rata-rata traktor itu menggunakan mesin diesel sebagai jantung penggeraknya. Sedangkan harga solar sendiri masih bisa dibilang tidak murah untuk golongan petani. Kalau ingin menggratiskan total biaya operasional saya rasa itu masih susah sekali kecuali bisa mengganti total mesin diesel dengan mesin yang bisa menjadikan air selokan/air irigasi sebagai bahan bakar utamanya.

Menggratiskan bahan bakar masih terasa mustahil, tapi bagaimana dengan mengurangi biaya bahan bakar? Selama ini traktor selalu dikaitkan dengan solar. Bagaimana kalau diganti dengan gas LPG? "Ya kalau diganti dengan gas LPG bukan diesel lagi lah namanya". Nah itu dia, coba kalau kita bisa mengganti mesin diesel yang tertanam di traktor menjadi mesin yang bisa memberikan tenaga yang sama tetapi "makanannya" bukan solar lagi melainkan gas LPG.

Kenapa dari tadi saya ngotot dengan gas LPG? Ada apa dengan gas LPG? Atau mungkin saya adalah makelar gas LPG? hahahhaha.. enggak lah~ Begini, energi potensial yang terkandung di gas LPG ternyata lebih besar ketimbang energi yang terkandung di solar. Gas LPG memiliki energi sebesar 11.200 kkal/kg, sedangkan solar hanya 9.063 kkal/liter. Apa artinya? Begini, harga gas LPG 3kg subsidi sekitar Rp 15.000 jadi kita membeli energi sebesar 33.600 kkal seharga Rp 15.000 atau Rp 0,446 tiap kkal. Bandingkan dengan solar subsidi yang 1 liter harganya Rp 4.500. Kalau kita beli sebanyak 3 liter, maka kita mendapatkan energi sebanyak 27.189 kkal seharga Rp 13.500 atau Rp 0,5 tiap kkal. Berarti dengan mengganti bahan bakar ke gas LPG sudah menghemat pengeluaran sekitar 11% dibandingkan jika harus membeli solar.

Nah, lumayan kan penghematannya kalau mesin diesel di traktor itu bisa diganti dengan suatu mesin yang bisa menggunakan gas LPG sebagai penggeraknya? Walaupun tidak heboh-heboh banget, setidaknya bisa meringankan beban biaya bahan bakar traktor bagi para petani Indonesia.

Tuesday, April 9, 2013

Game Harvest Moon dan Teknologi Pertanian

Bicara masalah pertanian, saya jadi teringat dengan salah satu game yang saya mainkan dulu. "Harvest Moon" mungkin anda pernah mendengar atau bahkan sempat memainkan game yang satu ini. Yap game ini berkisah tentang seorang anak muda yang diberi warisan lahan pertanian oleh kakeknya. Kita yg memainkan peran si cucu ini diberi tugas untuk mengolah lahan pertanian tersebut supaya kembali produktif dengan berbagai macam cara. Di game ini kita juga bisa meningkatkan kualitas alat pertanian yang ada hingga sampai ke tingkat yang bisa dibilang "ajaib". Selain meningkatkan kualitas alat pertanian, kita juga bisa memesan peralatan pengolahan bahan mentah pada tukang pandai besi setempat yang tentunya alat tersebut juga bekerja dengan cara yang ajaib pula. Semakin canggih dan tinggi peralatan pertanianmu, maka semakin besar pula pendapatan dari pertanian kita.

Dari sana sempat terlintas pemikiran "kenapa gak dibikin saja alat-alat ajaib seperti itu? Kalaupun mungkin terlalu ajaib untuk dibuat, kenapa tidak mencoba untuk menaikkan taraf teknologi pertanian secara menyeluruh?" Yang saya lihat, teknologi yang paling banyak dipakai di pertanian paling banter ya sprayer pestisida. Sedangkan untuk membajak sawah, menanam bibit, panen, masih memakai cara tradisional yang menguras fisik dan waktu. Murah sih murah, tapi selain sangat menyita waktu dan tenaga, area yang bisa digarap juga jadi sangat terbatas kecuali manusia penggarapnya punya tenaga tak terbatas macem di kartun Dragon Ball.

Mungkin untuk penerapan mesin-mesin pertanian tersebut memakan banyak biaya investasi pada awalnya dan tentunya ini membuat para petani enggan untuk berpindah ke cara modern. Tapi tak semua teknologi memakan biaya tinggi. Salah satu masalah para petani adalah harga pupuk buatan pabrik yang tanpa sebab yang jelas harganya bisa menggila mendadak. Sedangkan pupuk organik itu sudah banyak yg kenal. Andai saja produksi dan penggunaan pupuk organik ini bisa dimaksimalkan, maka biaya untuk pupuk buatan pabrik bisa ditekan seminimal mungkin. Pupuk organik terutama kompos masih bisa dibuat dalam skala rumah tangga, kendala utama dari pembuatan pupuk kompos sebenarnya cuma ada satu yaitu lamanya waktu pembuatan. Mesin pengaduk untuk mengolah pupuk sih sudah banyak tersedia di pasaran, tapi kalau di game harvest moon sih ada alat yang bisa membuat pupuk kompos dalam waktu kurang dari 5 detik (namanya juga game). Tapi saya rasa itu tidaklah mustahil jika dalam waktu yang tidak begitu lama alat tersebut bisa terwujud di dunia nyata.

Andai saja tiap organisasi pertanian lokal memiliki peralatan modern yang lengkap seperti itu, saya rasa itu sudah cukup untuk menaikkan taraf produksi pertanian di daerah tersebut. Terutama untuk pupuk, petani hanya perlu membawa potongan-potongan rumput, batang tanaman, dan beberapa sampah organik lainnya lalu pergi ke tempat dimana organisasi pertanian meletakkan mesin pembuat pupuknya. Petani bisa lebih sering menebar pupuk di sawahnya (tentunya dengan takaran yang baik) tanpa terlalu khawatir akan harga pupuk yang terkadang tidak bisa ditebak.

Monday, April 8, 2013

Indonesia yang katanya "Negara Agraris"

Dulu waktu masih SD seringkali guru ngasi pertanyaan macem gini "Anak-anak, Indonesia itu dijuluki negara apa aja??".  "Negara maritim dan negara agraris bu guru!!!". Yap, Indonesia memang negara maritim yang wilayahnya sebagian besar merupakan perairan/lautan. Negara agraris? Negara yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Masihkah pernyataan yang satu ini valid? Oke, coba kita lihat data dari web badan pusat statistik -> jumlah penduduk Indonesia tahun 1990 adalah 179,378,946 jiwa dan di tahun 2000 adalah 237,641,326 jiwa. Berarti jumlah penduduk mengalami kenaikan sebesar 75%. Bagaimana dengan produksi pertanian? Jika mengacu pada data di website badan pusat statistik, pada tahun 1993 produksi panen padi se-Indonesia adalah 48129321.00 ton, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 69045141.00 ton. Bila dijadikan persentase berarti mengalami kenaikan sebesar 69%.

Gak jelek-jelek banget ya kalau dilihat angkanya.. hehe... Tapi angka itu juga berarti pertumbuhan pangan masih lebih lambat ketimbang laju pertumbuhan penduduk. Kalau dibiarkan gini terus ya krisis beras tinggal menunggu waktu saja. Gak mau kena krisis beras? Ya terpaksa ngimpor dulu deh ke negeri seberang. 


Oke, jadi kenapa pertumbuhan pangan kita gak sebanding dengan pertumbuhan penduduk? Mestinya kan makin banyak manusia yang ada, petaninya juga makin banyak. Itu sih teori bersih dan idealnya aja, lagian lahan pertaniannya juga gak nambah-nambah. Berkurang sih iya. hahahahaha. 


Coba deh, siapa yg mw sukarela beli sawah terus niat ngembangin itu sawah supaya bisa menghasilkan? Biasanya sih jawabannya cewek bakal gini "Ngapaen juga maen lumpur, cangkul, ama kebo? Udah kotor, bau pula. Mending ngelamar jadi sekretaris di kota sebelah aja!".  Nah, itu dia, entah kenapa profesi yg melibatkan sawah itu diikuti dengan bayangan "kotor, bau, lumpur, panes, pegel". Yang nyuruh kamu nyangkul + bawa kebo emangnya siapa? Gak mesti gitu juga kali mbak.


Tapi memang kenyataannya petani di Indonesia mayoritas masih memakai sistem tradisional dalam mengolah lahan mereka. Entah itu nyangkul manual, nanem bibit, panen, atau jemur gabah di pinggir jalan. Memang dari segi biaya sekilas tampak murah karena hanya makan tenaga dan waktu. Tapi berapa sih batas daya tahan tubuh manusia? Kebanyakan sih anak petani yang pergi dari sawah itu gara-gara gak mau meres keringat seperti orang tua mereka. Mending capek-capek tapi hasilnya gede. Lah untungnya dikit, itupun juga kalau gak kena serbuan hama atau gagal panen gara-gara cuaca yang menggila.




Kalau dipikir-pikir pasar Indonesia gak bakalan kekurangan permintaan terhadap komoditi beras(padi). Lalu kenapa petani yang jadi produsen utama malah cenderung "kekurangan"? Padahal harga beras bisa dibilang gak murah. Sudah jadi rahasia umum sih kalau harga yang didapatkan petani itu jauh berbeda dengan harga beras di pasaran. Hal ini dikarenakan petani tidak menjual langsung hasil panennya ke pasar melainkan menjualnya melalui perantara yang rajin datang ke tempat-tempat petani menyimpan hasil panennya dan harga yang diberikan juga rada "kurang manusiawi". Tapi entah karena kurangnya akses informasi atau apalah itu, para petani seolah nurut saja dengan harga yang diberikan para "distributor" ini.


Belum lagi kalau sudah bicara biaya operasional semacam bibit, pupuk, dan pestisida. Wah, makin parah lagi dah.. Saat diperlukan benda-benda tersebut bisa seolah-olah punya kekuatan gaib untuk menghilang dari peredaran. Kalaupun nampak, harganya juga udah gak normal lagi. Gimana bisa betah coba jadi petani kalo ketemu masalah-masalah seperti itu. 


Dengan adanya masalah-masalah tersebut, wajar saja kalau minat generasi penerus untuk menjadi petani merosot drastis dan lahan pertanian perlahan beralih fungsi menjadi ruko. Kalau sudah demikian, apa Indonesia kira-kira masih bisa mempertahankan predikatnya sebagai negara agraris di masa depan?